Jumat, 15 Juni 2012

Silahkan dicek, gratis... :)

Narsiiiiiiiis...mumpung gak da yg liat ddlam kamar pas..gagagag
Beginilah caranya untuk sukses.. :) *jangan diikutin yaa... :D
Ngapain bro?, neropong cpa..? :) *Syauki & Nasrullah
Mumpung gak da orang, buka jurus silat ah,.. ciyaaaaa.. :)
Pak Komnit kita, Tgk.Nurul Hadi El-Rutiny El-Bakoyii
Rame-rame liat nilai di mading EDSA, mantap wakgeng.. :)
Kebersamaan bersama Mr.Jonthon Coulson. yang pake jaket biru muda kalii.. :)

Nasrullah liat pengumuman serius amat, dapat kok nt.. :)

Hakikat Manusia Dalam Pandangan Filsafat


A.    Rasional
Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna, karena manusia dibekali dengan berbagai kelebihan dibanding dengan makhluk lain, yaitu nafsu (sifat dasar iblis), taat/patuh/tunduk (sifat dasar malaikat) dan akal (sifat keistimewaan manusia). Ketiga hal tersebut membuat manusia memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan-Nya, jika manusia dapat mengatur ketiganya dan dapat memposisikan diri sebagaimana yang dititahkan oleh sang Rabb.
Dalam Al qur’an surat Az-Zariyat (51) ayat 56, Allah swt telah berfiman yang artinya kurang lebih demikian; “Aku (Allah swt) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Dari tafsir tersebut terlihat jelas bahwa jin dan manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah swt. Namun, banyak dari golongan manusia yang tidak dapat melakukan sebagaimana yang diharapkan oleh sang pencipta (Allah SWT), malah manusia berbuat sebaliknya dan mengingkari apa yang telah dikaruniakan. Itu karena manusia belum memahami betul hakikat dirinya diciptakan dan diturunkan dibumi dilihat dari segi agama islam.
Dengan adanya akal, membuat manusia selalu ingin tahu tentang apapun. Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu manusia menggunakan jalur pendidikan. Melalui pendidikan manusia memperoleh berbagai ilmu baru dan dapat mengembangkan ilmu tersebut.
Filsafat merupakan cabang ilmu pengetahuan yang selalu menggunakan pemikiran mendalam, luas, radikal (sampai keakar-akarnya), dan berpegang pada kebijakansanaan dalam melihat suatu  problem. Dengan kata lain, filsafat selalu mencoba mencari hakikat atau maksud dibalik adanya sesuatu tersebut.
Dalam makalah ini, kami mencoba membahas sedikit tentang hakekat manusia dilihat dari segi filsafat (menyeluruh). Sebenarnya untuk apa manusia hidup, bagaiman ia harus hidup, dan lain-lain. Yang nantinya, dengan melihat hakekat manusia tersebut, apa kaitanya dengan proses pendidikan.
Mengingat manusia merupakan makhluk yang istimewa dan tidak akan pernah cukup membahas tentang manusia yang luas hanya dengan satu makalah, maka kami sangat mengharap saran dan kritikan yang membangun dari peserta ketika nanti dalam makalah ini terdapat banyak kesalahan (bauk pernyataan maupun penulisan) atau masih ada yang belum lengkap (kurang).
      B.     Rumusan Masalah
1. Apa pengertian filsafat?
2. Bagaimana hakekat manusia dilihat dari sudut pandang filsafat?
3. Bagaimana kaitan antara filsafat, pendidikan dan manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
       A.    Pengertian Filsafat
Sebelum lebih jauh membahas tentang hakekat manusia dalam pandangan filsafat, izinkan kami sedikit memaparkan tentang pengertian filsafat itu sendiri terlebih dahulu. Secara etimologis, filsafat berakar dari bahasa Yunani yaitu  phillein yang berarti cinta, dan shopia yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat adalah “cinta kebijaksanaan”. Kemudian dari pendekatan etimologis tersebut, dapat disimpulkan bahwa filsafat berarti pengetahuan mengenai pengetahuan, akar dari pengetahuan atau pengetahuan yang terdalam.
Secara terminologis, banyak sekali pendapat-pendapat yang berkenaan dengan pengertian filsafat. Tidak ada pengertian yang secara pasti, tetapi berikut beberapa pengertian yang penulis dapat dari beberapa sumber.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang amat luas (komprehensif) yang berusaha untuk memahami persoalan-persoalan yang timbul didalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia.
Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang hakekat kebenaran sesuatu.
Filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami dan menyelami secara radikal, dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahua tersebut.
1.   Hakekat Manusia dalam Pandangan Filsafat
Hakikat adalah sesuatu yang mendasar, suatu esensi, yang substansial, yang hakiki yang penting, yang diutamakan. Dengan kata lain, HAKIKAT adalah SESUATU yang mesti ada pada SESUATU yang jika SESUATU itu tidak ada maka SESUATU itu pun tidak wujud/ada. Jadi, HAKIKAT manusia adalah SESUATU yang pasti ADA pada manusia. Upaya pemahaman hakekat manusia sudah dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat ini belum mendapat pernyataan yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan manusia itu sendiri yang memang unik, antara manusia satu dengan manusia lain berbeda-beda. Bahkan orang kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki perbedaaan. Mulai dari fisik, ideologi, pemahaman, kepentingan dll. Semua itu menyebabkan suatu pernyataan belum tentu pas untuk di setujui oleh sebagian orang.
Para ahli pikir dan ahli filsafat memberikan sbuten kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan manusia di bumi ini;
a. Manusia adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi,
b. Manusia adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir,
c. Manusia adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun,
d.  Manusia adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat perkakas atau disebut juga Toolmaking Animalyaitu binatang yang pandai membuat alat,
e. Manusia adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
      f. Manusia adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis,
g. Manusia adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama. Dr. M. J. Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda, memandang manusia sebagai Animal Educadum dan Animal Educable, yaitu manusia adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Oleh karena itu, unsur rohaniah merupakan syarat mutlak terlaksananya program-program pendidikan. Ilmu yang mempelajari tentang hakekat manusia disebut Antropologi Filsafat.
2.      Masalah Rohani dan Jasmani
Setidaknya terdapat empat aliran pemikiran yang berkaitan tentang masalah rohani dan jasmani (sudut pandang unsur pembentuk manusia) yaitu: Aliran serba zat, aliran serba ruh, aliran dualisme, dan aliran aksistensialisme.
·         Aliran Serba zat (Faham Materialisme)
Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sunguh ada itu adalah zat atau materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi. Manusia ialah apa yang nampak sebagai wujudnya, terdiri atas zat (darah, daging, tulang).
Jadi, aliran ini lebih berpemahaman bahwa esensi manusia adalah lebih kepada zat atau materinya. Manusia bergerak menggunakan organ, makan dengan tangan, berjalan dengan kaki, dan lain-lain. Semua serba zat atau meteri. Berdasar aliran ini, maka dalam pendidikan manusia harus melalui proses mengalami atau pratek (psikomotor).
·         Aliran Serba Ruh (Idealisme)
Dalam buku lain, aliran ini diberi nama Aliran Idealisme. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini adalah ruh, juga hakekat manusia adalah ruh.[9] Ruh disini bisa diartikan juga sebagai jiwa, mental, juga rasio/akal. Karena itu, jasmani atau tubuh (materi, zat) merupakan alat jiwa untuk melaksanakan tujuan, keinginan dan dorongan jiwa (rohani, spirit, ratio) manusia.
Jadi, aliran ini beranggapan bahwa yang menggerakkan tubuh itu adalah ruh atau jiwa. Tanpa ruh atau jiwa maka jasmani, raga atau fisik manusia akan mati, sia-sia dan tidak berdaya sama sekali. Dalam pendidikan, maka tidak hanya aspek pengalaman saja yang diutamakan, faktor dalam seperti potensi bawaan (intelegensi, rasio, kemauan dan perasaan) memerlukan perhatian juga.
·         Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakekatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani. Aliran ini melihat realita semesta sebagai sintesa kedua kategori animate dan inanimate, makhluk hidup dan benda mati. Demikian pula manusia merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga.
Misalnya ada persoalan: dimana letaknya mind (jiwa, rasio) dalam pribadi manusia. Mungkin jawaban umum akan menyatakan bahwa ratio itu terletak pada otak. Akan tetapi  akan timbul problem, bagaiman mungkin suatu immaterial entity (sesuatu yang non-meterial) yang tiada membutuhkan ruang, dapat ditempatkan pada suatu materi (tubuh jasmani) yang berada pada ruang wadah tertentu.
Jadi, aliran ini meyakini bahwa sesungguhnya manusia tidak dapat dipisahkan antara zat/raga dan ruh/jiwa. Karena pada hakekatnya keduanya tidak dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki peranan yang sama-sama sangat vital. Jiwa tanpa ruh ia akan mati, ruh tanpa jiwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam pendidikan pun, harus memaksimalkan kedua unsur ini, tidak hanya salah satu saja karena keduanya sangat penting.
·         Aliran Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpikir tentang hakekat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya hakikat manusia itu yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini manusia dipandang dari serba zat, serba ruh atau dualisme dari kedua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi manusia itu sendiri di dunia.
3.      Sudut Pandang Antropologi dan Metafisika
Dari segi antropologi terdapat tiga sudut pandang hakekat manusia, yaitu manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial dan makhluk susila. Berikut penjelasan dari ketiganya1:
·         Manusia Sebagai Makhluk Individu (Individual Being)
Dalam bahasa filsafat dinyatakan self-existence adalah sumber pengertian manusia akan segala sesuatu. Self-existence ini mencakup pengertian yang amat luas, terutama meliputi: kesadaran adanya diri diantara semua relita, self-respect, self-narcisme, egoisme, martabat kepribadian, perbedaan dan persamaan dengan pribadi lain, khususnya kesadaran akan potensi-potensi pribadi yang menjadi dasar bagi self-realisasi. Manusia sabagai individu memiliki hak asasi sebagai kodrat alami atau sebagi anugrah Tuhan kepadanya. Hak asasi manusia sebagai pribadi itu terutama hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik.
Disadari atau tidak menusia sering memperlihatkan dirinya sebagai makhluk individu, seperti ketika mereka memaksakan kehendaknya (egoisme), memecahkan masalahnya sendiri, percaya diri, dan lain-lain. Menjadi seorang individu manusia mempunyai ciri khasnya masing-masing. Antara manusia satu dengan yang lain berbeda-beda, bahkan orang yang kembar sekalipun, karena tidak ada manusia di dunia ini yang benar-benar sama persis. Fisik boleh sama, tetapi kepribadian tidak.
Jadi dalam pendidikan seorang guru sangat perlu memahami hakekat manusia sebagai individu. Itu kaitanya dengan menghargai perbedaan dalam setiap anak didiknya, agar sang guru tidak semena-mena dan memaksakan kehendaknya (diskriminasi) kepada peserta didik. Perbedaan itu bisa berupa fisik, intelejensi, sikap, kepribadian, agama, dan lain-lain.
·         Manusia Sebagai Makhluk Sosial (Sosial Being)
Telah kita ketahui bersama bahwa manusia tidak dapat hidup sendirian, manusia membutuhkan manusia lain agar bisa tetap exsis dalam menjalani kehidupan ini, itu sebabnya manusia juga dikenal dengan istilah makhluk sosial. Keberadaanya tergantung oleh manusia lain.
Esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaran interdependensi dan saling membutuhkan serta dorongan-dorongan untuk mengabdi sesamanya adalah asas sosialitas itu. Kehidupan individu di dalam antar hubungan sosial memang tidak usah kehilangan identitasnya. Sebab, kehidupan sosial adalah realita sama rielnya dengan kehidupan individu itu sendiri. Individualitas itu dalam perkembangan selanjutnya akan mencapai kesadaran sosialitas. Tiap manusia akan sadar akan kebutuhan hidup bersama segera setelah masa kanak-kanak yang egosentris berakhir.
Seorang guru dalam kegiatan pembelajaran perlu menanamkan kerjasama kepada peserta didiknya, agar kesadaran sosial itu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal tersebut dapat dicapai dengan penerapan strategi dan metode yang tepat, juga dengan pemberian motivasi tentang kebersamaan.
·         Manusia Sebagai Makhluk Susila (Moral Being)
Asas pandangan bahwa manusia sebagai makhluk susila bersumber pada kepercayaan bahwa budi nurani manusia secara apriori adalah sadar nilai dan pengabdi norma-norma. Kesadaran susila (sense of morality) tak dapat dipisahkan dengan realitas sosial, sebab, justru adanya nilai-nilai, efektivitas nilai-nilai, berfungsinya nilai-nilai hanyalah di dalam kehidupan sosial. Artinya, kesusilaan atau moralitas adalah fungsi sosial. Asas kesadaran nilai, asas moralitas adalah dasar fundamental yanng membedakan manusia dari pada hidup makhluk-makhluk alamiah yang lain. Rasio dan budi nurani menjadi dasar adanya kesadaran moral itu.
Ketiga esensi diatas merupakan satu kesatuan yang tidak terlepaskan dari diri manusia, tinggal ia sadar atau tidak. Beberapa individu mempunyai kecenderungan terhadap salah satu esensi itu. Ada yang cenderung esensi pertama yang lebih menonjol, ada yang kedua dan ada yang ketiga. Semua tergantung pemahaman dan pendidikan yang dialami oleh si individu tersebut. Fungsi pendidikan adalah mengembangkan ketiganya secara seimbang. Agar manusia dapat menempatkan diri sesuai situasi dan kondisi yang sedang dialami. Sesuatu yang berlebihan atau malah kurang itu tidak baik, jadi yang terbaik itu adalah seimbang.
Metafika adalah ilmu yang mencoba menjelaskan sesuatu yang dikatakan gaib dengan cara nalar dan rasional keilmuan. Pada manusia metafika berbicara tentang ruh/jiwa manusia. Metafisika: filsafat tentang hakikat yang ada di balik fisika, hakikat yang bersifat transenden, di luar jangkauan pengalaman manusia.
4.      Pandangan Freud tentang Struktur Jiwa (Kepribadian)[18]
Menurut Freud (ahli ilmu jiwa), struktur jiwa (kepribadian)terbentuk oleh tiga tingkatan atau lapisan, yaitu bagian dasar (das Es), bagian tengah (das Ich) dan bagian atas (das Uber ich).
·         Bagian Dasar atau das Es (the Id)
Bagian ini merupakan bagian paling dasar yaitu berkenaan dengan hasrat-hasrat atau sumber nafsu kehidupan. Semua tuntutan das Es semata-mata demi kepuasan, tanpa memperhatikan nilai baik-buruk. das Es ini merupakan prototype dari sifat individualistis manusia, egoistis, a-sosial bahkan a-moral. Dan ketika manusia semata-mata mengikuti dorongan das Es yang demikian tadi, maka sesungguhnya manusia tidak ada bedanya dengan makhluk alamiah lain.
·         Bagian Tengah atau das Ich (aku)
Bagian ini terletak ditengah antara das Es dan das Uber Ich. Menjadi penengah antara kepentingan das Es dan tujuan-tujuan das Uber Ich. Das Ich ini bersifat objektif dan realistis, sehingga pribadi seseorang dapat berjalan dengan seimbang dan harmonis. Sesuai letaknya, das Ich ini lebih sadar norma dibanding das Es. Kesadaran das Ich yang bersifat ke-aku-an ini lebih bersifat social, sehingga das Ich dapat disamakan sebagai aspek social kepribadian manusia.
·         Bagian Atas atau das Uber Ich (superego)
Bagian jiwa yang paling tinggi, sifatnya paling sadar norma, paling luhur. Bagian ini yang paling lazim disamakan dengan budi nurani. Setiap motif, cita-cita dan tindakan das Uber Ich selalu didasarkan pada asas-asas normative. Superego ini selalu menjunjung tinggi nilai-nilai, baik nilai etika maupun nilai religious. Dengan demikian, superego adalah bagian jiwa yang palling sadar terhadap makna kebudayaan, membudaya dalam arti terutama sadar nilai moral, watak superego ialah susila.
5.      Pandangan Ilmu Pengetahuan tentang Asal-Mula dan Tujuan Hidup Manusia
Segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini pasti mempunyai asal-usul dan tujuan keberadaanya, begitu juga manusia. Asala mula dan tujuan hidup manusia merupakan merupakan substansi yanng sulit dijelaskan. Karena akal manusia sangat terbatas untuk mencapai pada substansi tersebut.
Pikiran manusia tidak pernah mampu menjelaskan secara terperinci tentang substansi asal-mula tersebut. Mekipun demikian, pikiran manusia dapat dipastikan mampu secara logis menyimpilkan dan menilai bahwa hakekat asal mula itu hanya ada satu, bersifat universal, dan berada di dunia metafisis, karena itu bersifat absolut dan tidak mengalami perubahan serta sebagai sumber dari segala sumber yang ada.
Ketika manusia menyadari bahwa asal mula dan tujuan hidup hanya satu, bersifat universal dan berada di dunia metafisis, maka pernyataan itu merujuk pada keberadaan Tuhan. Dalam agama islam, manusia meyakini bahwa ia berasal dari Allah SWT dan nantinya akan kembali kepada-Nya juga.
Akal pikiran manusia dapat memastikan bahwa kehidupan ini berawal dari causa prima (Tuhan) dan pada akhirnya kembali kepada causa prima (Tuhan) pula.
Jadi, jika demikian adanya maka dalam islam setidaknya manusia mempunyai beberapa tujuan. Tujuan manusia hidup manusia paling sedikit ada empat macam; beribadah, menjadi khalifah Allah di muka bumi (yang baik dan sukses tentunya), memperoleh kesuksesan (kebaikan, kebahagiaan dan keberuntungan) di dunia dan di akhirat, dan mendapat ridha Allah.
6.      Hubungan Antara Filsafat, Pendidikan dan Manusia
Dari pemaparan diatas, ternyata menusia benar-benar merupakan makhluk yang unik. Manusia memiliki berbagai dimensi dasar, baik secara pribadi, jiwa, kelompok, dan lain-lain. Semua itu bercampur aduk menjadi potensi dasar atau bawaan manusia, sehingga disadari atau tidak, manusia telah mengembangkan potensi tersebut, baik secara maximal atau tidak, dengan baik atau buruk. Semuanyatergantung manusia itu sendiri dan lingkungan yang mempengaruhinya.
Kaitanya dengan hal tersebut, dengan akal manusia yang bisa dikatakan jenius, manusia dapat menemukan jalan untuk mengembangkan potensi-potensi mereka dengan baik. Yaitu dengan pendidikan. Manusia mulai sadar akan arti penting pendidikan bagi kehidupan mereka.
Dalam sub bab ini, kami mencoba mencari keterkaitan antara pendidikan dengan manusia. Atau, apakah arti penting pemahaman tentang hakekat manusia tadi terhadap proses pendidikan.
Pendidikan adalah usaha sadar, terencana, sistematis dan berkelanjutan untuk mengembangkan potensi-potensi bawaan manusia, memberi sifat dan kecakapan, sesuai dengan tujuan  pendidikan.
Pendidikan adalah bagian dari suatu proses yang diharapkan untuk mencapai suatu tujuan. Bahwa manusia itu sangat membutuhkan pendidikan. Karena melalui pendidikan manusia dapat mempunyai kemampuan-kemampuan mengatur dan mengontrol serta menentukan  dirinya sendiri. Melalui pendidikan pula perkembangan kepribadian manusia dapat diarahkan kepada yang lebih baik. Dan melalui pendidikan kemampuan tingkah laku manusia dapat didekati dan dianalisis secara murni.
Melihat pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa hubungan pendidikan dengan manusia itu sangat erat. Adanya pendidikan untuk mengembangkan potensi manusia, menuju manusia yang lebih baik, dan dapat mengemban tugas dari Allah swt.
Berbicara tentang pendidikan, berarti membicarakan tentang hidup dan kehidupan manusia. Sebaliknya, berbicara tentang kehidupan manusia berarti harus mempersoalkan masalah kependidikan. Jadi, antara manusia dan pendidikan terjalin hubungan kausalitas. Karena manusia, pendidikan mutlak ada; dan karena pendidikan, manusia semakin menjadi diri sendiri sebagai manusia yang manusiawi.
Manusia merupakan subyek pendidikan, tetapi juga sekaligus menjadi objek pendidikan itu sendiri. Pedagogik tanpa ilmu jiwa, sama dengan praktek tanpa teori. Pendidikan tanpa mengerti manusia, berarti membina sesuatu tanpa mengerti untuk apa, bagaimana, dan mengapa manusia dididik. Tanpa mengerti atas manusia, baik sifat-sifat individualitasnya yang unik, maupun potensi-potensi yang justru akan dibina, pendidikan akan salah arah. Bahkan tanpa pengertian yang baik, pendidikan akan memperkosa kodrat manusia.[26]
Esensia kepribadian manusia, yang tersimpul dalam aspek-aspek: individualitas, sosialitas dan moralitas hanya mungkin menjadi relita (tingkah laku, sikap) melalui pendidikan yang diarahkan kepada masing-masing esensia itu. Harga diri, kepercayaan pada diri sendiri (self-respect, self-reliance, self confidence) rasa tanggung jawab, dan sebagainya juga akan tumbuh dalam kepribadian manusia melalui proses pendidikan.
Jadi, hubungan antara filsafat, pendidikan dan manusia secara singkat adalah sebagai berikut; filsafat digunakan untuk mencari hakekat manusia, sehingga diketahui apa saja yang ada dalam diri manusia. Hasil kajian dalam filsafat tersebut oleh pendidikan dikembangkan dan dijadikannya (potensi) nyata berdasarkan esensi keberadaan manusia. Sehingga dihasilkan manusia yang sejati, yang utuh sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT.

Sistem Nilai dalam Kehidupan Manusia

PENDAHULUAN
Sistem  merupakan suatu himpunan gagasan atau prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang bergabung menjadi suatu keseluruhan. Nilai  suatu yang dianggap baik yang menjadi suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial manusia. Karena manusia merupakan makhluk budaya dan makhluk sosial [selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik berupa jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual)] maka manusia dalam interaksi dan interdependensinya harus berpedoman pada nilai-nilai kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras.
Dalam Pendidikan: manusia sebagai subjek pendidikan (siap untuk mendidik) dan sebagai objek pendidikan (siap untuk dididik). Berhasil atau tidaknya usaha pendidikan tergantung pada jelas atau tidaknya tujuan pendidikan. Di Indonesia : tujuan pendidikan berlandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Filosofi pendidikan pancasila: usaha-usaha pendidikan dalam keluarga, masyarakat, sekolah dan perguruan tinggi.
Dalam rangka mengembangkan sifat sosial, manusia selalu menghadapi masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai (Ahmadi, 1990:12). Nilai-nilai itu merupakan faktor internal dengan hubungan antar sosial tersebut, sebagaimana dikatakan Celcius, ubi societas, ibiius “di mana ada suatu masyarakat, disana pasti ada hukum”.  Dengan kata lain, sebagaimana pandangan aliran progressivisme, nilai itu timbul dengan sendirinya, tetapi ada faktor-faktor lain dari masyarakat saat nilai itu timbul (Muhammad Noor Syam, 1986:127). Sehingga Nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan hubungan sosial dan bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini sesuai dengan aliran progressivisme bahwa “masyarakat menjadi wadah nilai-nilai”.
A.Latar Belakang Beragamnya Nilai yang Berlaku pada Mayarakat
I. Manusia berhubungan dengan sesama dan alam semesta (habl min al-nas wa habl min al-alam)
II. Tidak mungkin melakukan sikap yang netral
III. Karena watak dasar manusia (watak manusiawi) : 
kecenderungan untuk cinta, benci, simpati, dll.
Bentuk penilaian manusia ada 2:
a) berdasarkan asas-asas objektif rasional,
 b) subjektif emosional
Dilihat dari orentasinya, sistem nilai dapat dikatagorikan dalam empat bentuk yaitu :
1. Nilai etis, yang mendasari orentasinya pada ukuran baik buruk.
2. Nilai pragmatis, yang mendasari orentasinya pada berhasil dan gagalnya.
3. Nilai affek sensorik, yang mendasari orentasinya pada yang menyenangkan atau menyedihkan.
4. Nilai religius, yang mendasari orentasinya pada dosa dan pahala, halal dan haramnya
Pada dasarnya nilai-nilai tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian sebagaimana yang disebutkan oleh Mudlor Ahmad yaitu : [9]
1. Nilai Formal
Nilai yang tidak ada wujudnya, tetapi memiliki bentuk, lambang serta simbol-simbol. Nilai ini terbagi menjadi dua macam :
a. Nilai sendiri, seperti sebutan “Bapak Lurah” bagi seorang yang memangku jabatn lurah.
b. Nilai turunan, sepeerti sebutan “Ibu Lurah” bagi seorang yang menjadi istri pemangku jabatan lurah.
2. Nilai Material
Nilai yang berwujud dalam kenyataan pengalaman, rohani dan jasmani. Nilai ini terbagi atas dua macam, yaitu :
a. Nilai rohani, terdiri atas nilai logika, nilai estetika, nilai etika dan nilai religi.
b. Nilai jasmani atau pancaindra, terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat dan nilai guna.
Nilai material mempunyai wujud karena dapat dirasakan, baik dengan rasa lahir, pancaindra maupun rasa batin rasio. Misalnya :
1. Nilai Hidup                    : bebas, menindas, berjuang.
2. Nilai nikmat                  : Puas, aman, nyaman.
3. Nilai guna                      : butuh, menunjang, peranan.
4. Nilai logika                    : cerita, membuktikan, paham
5. Nilai estetika                 : musik, berpakaian, anggun.
6. Nilai etika                      : ramah, serakah, sedekah
7. Nilai religi                      : sangsi, mengangkal, syirik.
B.Pengertian Penilaian
Secara Umum: Segala sesuatu dalam alam raya ini bernilai (cakupan tidak terbatas) aksiologi. Perkembangan penyelidikan ilmu pengetahuan tentang nilai menyebabkan beragam pandangan manusia tentang nilai-nilai. Begitu juga sejarah peradaban manusia mengenai masalah nilai, masih merupakan problem, meskipun selama itu pula manusia tetap tidak dapat mengingkari efektivitas nilai-nilai di dalam kehidupannya. Hal ini dipertajam oleh kaum penganut sofisme, dengan tokohnya Pitagoras (481-441 SM), berpendapat bahwa nilai bersifat relatif tergantung pada waktu (Imam Barnadib, 1987: 133). Sedangkan menurut idealisme, nilai itu bersifat normatif dan objektif serta berlaku umum saat mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
Dapat disimpulkan bahwa nilai itu merupakan hasil dari kreativitas manusia dalam rangka melakukan kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan lain-lain.
C.Bentuk dan Tingkat-tingkat Nilai
Nilai merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek manusia. Sesuatu dianggap bernilai jika pribadi atau kelompok manusia itu merasa sesuatu itu bernilai. Dengan demikian, lepas dari perbedaan nilai, baik objektif maupun subjektif, tujuan adanya nilai adalah menuju kebaikan dan keluhuran manusia. Brubecher membedakan nilai menjadi 2 bagian : (1) nilai intrinsik (nilai yang dianggap baik yang ada di dalam dirinya sendiri), (2) nilai instrumental (nilai yang dianggap baik, karena bernilai untuk orang lain).
Menurut aliran realisme , kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila dihayati oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap subjek tersebut. Namun, ada juga yang membedakan bentuk nilai itu berdasarkan pada bidang, apakah itu efektif dan berfungsi: seperti nilai moral, nilai ekonomi, dsb.
Tingkat perkembangan nilai menurut Auguste Comte: (1) tingkat teologis (2) tingkat metafisik (3) tingkat positif, yaitu apabila manusia telah menguasai pengetahuan eksakta. (Muhammad Noor Syam, 1986:132).
D.Nilai-nilai Pendidikan dan Tujuan Pendidikan
Menurut Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni membina kepribadian ideal.
Untuk menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan, seperti :
1.    Pendekatan melalui analisis historis lembaga-lembaga sosial,
2.    Pendekatan melalui analisis ilmiah tentang realita kehidupan aktual,
3.    Pendekatan melalui nilai-nilai filsafat yang normatif (normative philosophy).
Menurut Aristoteles, tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan dengan tujuan didirikannya suatu negara (Rapar, 1988:40).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan bisa dilihat dari tujuan pendidikan yang ada. Sebagai contoh, tujuan pendidikan bangsa Indonesia dalam Bab II Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah “Bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani-rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan“.
Memang keadaan masyarakat dapat diukur melalui pendidikan. Karena itu, kebobrokan masyarakat takkan dapat diperbaiki dengan cara apa pun kecuali dengan pendidikan (Plato).