PENDAHULUAN
Sistem merupakan suatu himpunan gagasan atau
prinsip-prinsip yang saling bertautan, yang bergabung menjadi suatu
keseluruhan. Nilai suatu yang dianggap
baik yang menjadi suatu norma tertentu mengatur ketertiban kehidupan sosial
manusia. Karena manusia merupakan makhluk budaya dan makhluk sosial [selalu
membutuhkan bantuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, baik
berupa jasmaniah (segi-segi ekonomis) maupun rohani (segi spiritual)] maka manusia
dalam interaksi dan interdependensinya harus berpedoman pada nilai-nilai
kehidupan sosial yang terbina dengan baik dan selaras.
Dalam Pendidikan: manusia
sebagai subjek pendidikan (siap untuk mendidik) dan sebagai objek pendidikan
(siap untuk dididik). Berhasil atau tidaknya usaha pendidikan tergantung pada
jelas atau tidaknya tujuan pendidikan. Di Indonesia : tujuan pendidikan
berlandaskan pada filsafat hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Filosofi
pendidikan pancasila: usaha-usaha pendidikan dalam keluarga, masyarakat,
sekolah dan perguruan tinggi.
Dalam rangka mengembangkan
sifat sosial, manusia selalu menghadapi masalah-masalah sosial yang berkaitan
dengan nilai-nilai (Ahmadi, 1990:12). Nilai-nilai itu merupakan faktor internal
dengan hubungan antar sosial tersebut, sebagaimana dikatakan Celcius, ubi
societas, ibiius “di mana ada suatu masyarakat, disana pasti ada hukum”. Dengan kata lain, sebagaimana pandangan
aliran progressivisme, nilai itu timbul dengan sendirinya, tetapi ada
faktor-faktor lain dari masyarakat saat nilai itu timbul (Muhammad Noor Syam,
1986:127). Sehingga Nilai akan selalu muncul apabila manusia mengadakan
hubungan sosial dan bermasyarakat dengan manusia lain. Hal ini sesuai dengan
aliran progressivisme bahwa “masyarakat menjadi wadah nilai-nilai”.
A.Latar Belakang Beragamnya Nilai yang Berlaku pada
Mayarakat
I. Manusia
berhubungan dengan sesama dan alam semesta (habl min al-nas wa habl min al-alam)
II. Tidak mungkin melakukan sikap yang netral
III. Karena watak dasar manusia (watak manusiawi) :
kecenderungan untuk cinta, benci, simpati, dll.
Bentuk penilaian manusia ada 2:
a) berdasarkan asas-asas objektif rasional,
b) subjektif
emosional
Dilihat dari orentasinya, sistem
nilai dapat dikatagorikan dalam empat bentuk yaitu :
1. Nilai
etis, yang mendasari orentasinya pada ukuran baik buruk.
2. Nilai
pragmatis, yang mendasari orentasinya pada berhasil dan gagalnya.
3. Nilai
affek sensorik, yang mendasari orentasinya pada yang menyenangkan atau
menyedihkan.
4. Nilai
religius, yang mendasari orentasinya pada dosa dan pahala, halal dan haramnya
Pada dasarnya nilai-nilai tersebut
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian sebagaimana yang disebutkan oleh Mudlor
Ahmad yaitu : [9]
1. Nilai
Formal
Nilai yang tidak ada wujudnya,
tetapi memiliki bentuk, lambang serta simbol-simbol. Nilai ini terbagi menjadi
dua macam :
a. Nilai
sendiri, seperti sebutan “Bapak Lurah” bagi seorang yang memangku jabatn lurah.
b. Nilai
turunan, sepeerti sebutan “Ibu Lurah” bagi seorang yang menjadi istri pemangku
jabatan lurah.
2. Nilai
Material
Nilai yang berwujud dalam kenyataan
pengalaman, rohani dan jasmani. Nilai ini terbagi
atas dua macam, yaitu :
a. Nilai
rohani, terdiri atas nilai logika, nilai estetika, nilai etika dan nilai
religi.
b. Nilai
jasmani atau pancaindra, terdiri atas nilai hidup, nilai nikmat dan nilai guna.
Nilai material mempunyai wujud karena dapat dirasakan,
baik dengan rasa lahir, pancaindra maupun rasa batin rasio. Misalnya :
1. Nilai
Hidup
:
bebas, menindas, berjuang.
2.
Nilai
nikmat :
Puas, aman, nyaman.
3.
Nilai guna :
butuh, menunjang, peranan.
4.
Nilai logika
: cerita, membuktikan, paham
5.
Nilai
estetika
: musik, berpakaian, anggun.
6.
Nilai etika :
ramah, serakah, sedekah
7.
Nilai
religi
: sangsi, mengangkal, syirik.
B.Pengertian Penilaian
Secara
Umum: Segala sesuatu dalam alam raya ini bernilai (cakupan tidak terbatas)
aksiologi. Perkembangan penyelidikan ilmu pengetahuan
tentang nilai menyebabkan beragam pandangan manusia tentang nilai-nilai. Begitu
juga sejarah peradaban manusia mengenai masalah nilai, masih merupakan problem,
meskipun selama itu pula manusia tetap tidak dapat mengingkari efektivitas
nilai-nilai di dalam kehidupannya. Hal ini dipertajam oleh kaum penganut
sofisme, dengan tokohnya Pitagoras (481-441 SM), berpendapat bahwa nilai
bersifat relatif tergantung pada waktu (Imam Barnadib, 1987: 133). Sedangkan
menurut idealisme, nilai itu bersifat normatif dan objektif serta berlaku umum
saat mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk.
Dapat
disimpulkan bahwa nilai itu merupakan hasil dari kreativitas manusia dalam
rangka melakukan kegiatan sosial, baik itu berupa cinta, simpati, dan
lain-lain.
C.Bentuk dan Tingkat-tingkat Nilai
Nilai
merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek manusia. Sesuatu
dianggap bernilai jika pribadi atau kelompok manusia itu merasa sesuatu itu
bernilai. Dengan demikian, lepas dari perbedaan nilai, baik objektif maupun
subjektif, tujuan adanya nilai adalah menuju kebaikan dan keluhuran manusia.
Brubecher membedakan nilai menjadi 2 bagian : (1) nilai intrinsik (nilai yang
dianggap baik yang ada di dalam dirinya sendiri), (2) nilai instrumental (nilai
yang dianggap baik, karena bernilai untuk orang lain).
Menurut
aliran realisme , kualitas nilai tidak dapat ditentukan secara konseptual
terlebih dahulu, melainkan tergantung dari apa atau bagaimana keadaannya bila
dihayati oleh subjek tertentu dan bagaimana sikap subjek tersebut. Namun, ada
juga yang membedakan bentuk nilai itu berdasarkan pada bidang, apakah itu
efektif dan berfungsi: seperti nilai moral, nilai ekonomi, dsb.
Tingkat
perkembangan nilai menurut Auguste Comte: (1) tingkat teologis (2) tingkat
metafisik (3) tingkat positif, yaitu apabila manusia telah menguasai
pengetahuan eksakta. (Muhammad Noor Syam, 1986:132).
D.Nilai-nilai Pendidikan dan Tujuan
Pendidikan
Menurut
Muhammad Noor Syam, pendidikan secara praktis tak dapat dipisahkan dengan
nilai-nilai, terutama yang meliputi kualitas kecerdasan, nilai ilmiah, nilai
moral, dan nilai agama yang kesemuanya tersimpul dalam tujuan pendidikan, yakni
membina kepribadian ideal.
Untuk
menetapkan tujuan pendidikan dasar, harus melalui beberapa pendekatan, seperti
:
1. Pendekatan melalui analisis historis
lembaga-lembaga sosial,
2. Pendekatan melalui analisis ilmiah tentang
realita kehidupan aktual,
3. Pendekatan melalui nilai-nilai filsafat
yang normatif (normative philosophy).
Menurut
Aristoteles, tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan dengan tujuan didirikannya
suatu negara (Rapar, 1988:40).
Oleh
karena itu, dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan bisa dilihat dari tujuan
pendidikan yang ada. Sebagai contoh, tujuan pendidikan bangsa Indonesia dalam
Bab II Pasal 3 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah
“Bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani-rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan“.
Memang
keadaan masyarakat dapat diukur melalui pendidikan. Karena itu, kebobrokan
masyarakat takkan dapat diperbaiki dengan cara apa pun kecuali dengan
pendidikan (Plato).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar